Search

Kegiatan pemberdayaan masyarakat bukanlah proses yag berjalan sendiri. Apabila ingin berhasil, kegiatan pemberdayaan masyarakat harus melibatkan banyak aktor. Berbagai aktor yang nterlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat antara lain: Pertama, Pemerintah. Peranan Pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat sangatlah penting. Peran birokrasi pemerintah harus dapat menyesuaikan dengan misi ini, mampu membangun partisipasi, membuka dialog dengan masyarakat, menciptakan instrument peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat bawah.

Dalam perkembangan teori organisasi, aliran modern menekankan pentingnya sebuah organisasi untuk senantiasa berhubungan dengan lingkungannya baik lingkungan internal maupun eksternal organisasi. Organisasi yang efektif merupakan organisasi yang mampu menyesuaikan diri secara cepat dengan perubahan karakteristik lingkungannya (Keats & Hitt, 1988) (Bala & Feng, 2019) (Science, 2021) (Menoni & Schwarze, 2020). Berdasarkan pandangan tersebut, terlihat bahwa adaptabilitas dan fleksibilitas organisasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu organisasi. Era post Covid19 mendorong setiap organisasi untuk cepat bergerak memulihkan kondisi menjadi lebih baik dari sebelumnya

Urgensi pembangunan desa ramah perempuan melalui kebijakan sosial berbasis gender di desa pinggiran perkotaan diharapkan menjadi jawaban permasalahan ketidakseteraan gender dalam pembangunan pedesaan. Perempuan dan pembangunan pedesaan masih dihadapkan pada masalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Prioritas dan kesempatan pendidikan masih minim, dibidang kesehatan lebih sekedar obyek program pembangunan dari tingkat pusat sampai tingkat desa, demikian pula dibidang ekonomi perempuan dianggap sebagai pelengkap dalam mencarai nafkah. Sisi lain perempuan dalam kesempatan dan aksesibilitas untuk berpartisipasi pada pembangunan pedesaan masih terbatas. Selain itu aspek anggaran melalui dana desa masih mengutamakan pembangunan fisik. Permasalahan pembangunan pedesaan yang belum terselesaikan terutama pembangunan pedesaan ramah perempuan perlu dirumuskan dengan keterlibatan berbagai pihak melalui advokasi kebijakan. Proses penyadaran untuk merumuskan kebijakan sesuai dengan kebutuhan perempuan desa.

Penerapan e-government pada tingkat lokal, khususnya pada Pemerintah Desa masih memerlukan perhatian yang serius, karena hingga saat ini pelayanan publik yang berbasis pada e-government yang diselenggarakan oleh pemerintah desa masih sangat minim, hanya segelintir desa saja yang sudah dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi (TI). Perkembangan TI, yang dikemas dalam Revolusi Industri 4.0, semestinya dapat diikuti oleh semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah desa sebagai lembaga publik yang melayani kepentingan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, Pemerintah Desa memiliki banyak keterbatasan untuk mengikuti derap langkah kemajuan tersebut, disebabkan karena masih rendahnya kemampuan sumber daya manusia (aparat desa) dalam penguasaan teknologi informasi, lemahnya komitmen kepemimpinan kepala desa, dan infrastruktur jaringan dan pembiayaan. Pemanfaatan TI masih terbatas hanya untuk mengerjakan tugas-tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah diatasnya, sementara untuk pelayanan yang merupakan kewenangan pemerintah desa secara otonom banyak yang belum memanfaatkan. Kondisi tersebut tentunya akan menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam pengembangan sistem informasi di desa.

Inovasi sektor publik sedang menjadi pembicaraan yang cukup populer khususnya bagi pemerintah terutama untuk memberikan solusi terkait dengan penyediaan layanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Kondisi ini bukan hanya karena adanya pandemi Covid-19, tetapi juga karena tuntutan perkembangan zaman yang telah memasuki era Revolusi Industri (RI) 4.0. Karakteristik RI.4.0 yang sarat dengan kemajuan sistem informasi yang didukung dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih menjadi tantangan yang berat bagi sektor publik. Seolah seperti kebetulan, pandemi Covid-19 yang mulai merebak pada awal tahun 2020 menjadi peringatan lebih keras lagi bahwa untuk mengidentifikasi, menerapkan bahkan membudayakan inovasi untuk memperbaiki pelayanan publik. Sehingga masa ini merupakan momentum yang justru dapat sebagai pemantik dan pendorong bagi percepatan pengembangan inovasi sektor publik. Namun demikian, karena sektor publik adalah kompleks, dan melingkupi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, proses inovasi mengalami banyak tantangan dan hambatan. Hambatan terkait dengan perilaku ditengarai birokrasi menjadi kendala utama bagi proses pengembangan inovasi, disamping adanya kendala lain seperti kebijakan, kepemimpinan, iklim dan budaya organisasi, infrastruktur, dan tidak kalah pentingnya adalah mindset masyarakat. Padahal dinamika kemajuan sistem pelayanan pada sektor publik sangat tergantung kepada bagaimana organisasi sektor publik melakukan reformasi diri menyesuaikan dengan dinamika zaman.

Buku yang berada di tangan para pembaca ini merupakan upaya untuk mendorong lahirnya penelitian-penelitian dengan tema baru pada kajian administrasi publik di era New Normal Indonesia. Upaya ini tentu disadari masih perlu penyempurnaan secara berkesinambungan, oleh karena itu saran dan masukan yang konstruktif amat diharapkan.

Development in coastal areas is an essential priority for overcoming social and economic gaps and conflicts through empowerment programs. The purpose of this research is to create a model of ecotourism-based coastal community empowerment. This study uses the Participatory Rural Appraisal (PRA) qualitative research method by collecting data through in-depth interviews, observation, documentation analysis, Focus Group Discussion (DKT) and Participatory Decision Making (PDM). Research locations in the border area of West Kalimantan are Sebubus Village and Temajuk Village, Paloh District, Sambas Regency. The informants of this study were 35 people consisting of empowerment activists, community leaders, village government, business groups, academics, and tourists. Research data were analysed using a SWOT analysis. The results showed 1) To develop the potential of mangrove forest ecotourism and processing of food from mangrove fruit, sea turtle breeding, and coastal inheritance, participatory empowerment programs are needed; 2) Youth activists become activists of empowering ecotourism with community leaders needing support and cooperation with village and regional governments, as well as the private sector; and 3) The need to improve road infrastructure, electricity and telecommunications signals, especially in Temajuk Village so as not to cause social and economic dependence and jealousy with the Malaysian border area.

School-based management (SBM) is a governance model that gives great authority to the management of the school to perform the duties and responsibilities in the administration and servicing Javanese pndidikan in the educational unit. This model that has become a common policy in the management systems of education at primary and secondary levels of education. The results of the research showed that, the successful implementation of MBS affected by how comprehensive understanding of the principal as the manager of the program. Without understanding about the program, the program will be difficult to be achieved. A policy and programs can be implemented in accordance with what is expected, if there is a good understanding of managers at an operational level. Thus, the capacity of the manager could determine the quality of the MBS.

The designed of school commitess is the form of citizens involvement in school governance, to achieve accoutability. This papers is aimed at analysing the role of school commitees on public basic schooll governance in Banyumas regency. The result of the reserach showed that, the School commite has a stratgeic role for improving basic education. However, it’s role has no optimally implemented for all school. This is depend on how the relation between school commtee and school management (head master). The better the relation between them, the more optimal the role of the commite. Otherwise, it would not be effective

Performance based budgetting is budgeting system that connect the public expenditure toout put and outcome, so every spending could be the benefit from it and could be responsibility. This researh was aimed at exploring and describing the implementation of performance based budgetting conducting by UNSOED Purwokerto. This research was crucial to be conducted since this budgeting system is still relatively new and need to be scrutinized. To explore this research problem, the qualitative design was conducted.The research showed that ,the implementation of Unsoed' perfomance based budgetting has not fully implemented yet. This condition occure, since most of staffs devoted in budgetting task have not fully understand about how the system should be carried out. They had limitted knowledge and understanding about how the performance based budgetting should be set up. Hence, the most of faculties and unit leaders are relatively lack of committment to apply this system. This resarch suggest that it is very important to give course and training more to staffs and the leaders of the faculties and units that responsible to the budgetting.

Performance appraisal of public organization is crucial issues to know the ‘degree of accomplishment about what had been planed. Performance is the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period’. It is the state of condition about the process of work in achieving planned thing. This reasearh used descriptive approaches, especially quantitative technique. The research showed that the performance of general administration of Brebes Government was categorized by average or quite success, by the gained score was 56,59 percent. this condition was in line with the score achieved by the parameters. The gained score of parameter of clean, transparent and accountable administration’ had the lowest score, 42 percent, followed by administrative procedure implementation parameter, which gained score of 47. Based on that result those parameters were still necessary to be concerned, especially for improving performance of information and communication functions

Sumberdaya aparatur merupakan faktor penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena i t kebijakan pengembangan sumberdaya aparatur harus terarah dan jelas. Penelitian in bertujuan untuk mengkaji arah kebijakan pengembangan sumberdaya aparatur dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Banyumas. Hasil analisis menunjukkan bahwa arah kebijakan sumberdaya aparatur di Kabupaten Banyumas belum jelas. Hal ni terlihat dari target dan sasaran yang akan dicapai kurang terukur dengan pasti. Demikian pula ranglingkupkebijakan pengembangan pegawai kurang mengarah kepadapencapaian sasaran pelayanan dan pembangunan di daerah, namun hanya menekankan pada aspek pengembangan yang bersifat konvensional. Hal tersebut sclanjutnya berpengaruh terhadap pola pengembangan karier yang diterapkan.